Manusia  adalah makhluk Allah yang khas. Masing-masing memiliki keistimewaan.  Karena itu Al-Quran mengingkari manusia yang menghilangkan  kepribadiannya dan menjadi pembebek (pengikut) orang lain dalam  kekeliruannya. Biasanya manusia sangat terpengaruh untuk mengikuti para  pemimpin, pejabat dan penguasa dengan berlebih-lebihan sehingga mereka  mengkultuskannya. Adapula yang menyucikan para tokoh pujaannya sehingga  ia menjadikan orang itu sebagai tuhan-tuhan yang ia patuhi dalam setiap  yang ia putuskan.
Di masa lalu, Fir’aun – yang mengaku dirinya  sebagai tuhan – dipuja-puja oleh pengikutnya sehingga dianggap tak  pernah bersalah. Demikian juga Hitler dan Musolini yang merupakan  diktator yang diagungkan kehebatannya. Di negeri kita Presiden Soekarno  punya pengikut fanatik yang banyak. Pada masa kejayaannya Soeharto punya  pengikut yang menganggapnya manusia yang lain dari yang lain sehingga  mereka memberi gelar “Bapak Pembangunan”. Sekarang ini juga muncul para  pemuja yang menganggap bahwa tindakan pemimpinnya selalu benar. Bahkan  meskipun aneh dan menyimpang tetap saja dianggap perbuatan wali (orang  suci). Dibela habis-habisan meskipun jelas-jelas salah dan kebenaran pun  dijungkirbalikkan.
Sungguh keliru pandangan seperti itu. Nabi  Muhammad Shalallahu Alaihi Wa Sallam saja tidak boleh diagungkan  melampaui batas yang ditentukan. Beliau menyatakan dirinya sebagai  manusia biasa sebagaimana kita. Penghormatan kepada beliau pun sebatas  sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya.
Perbuatan kultus kepada  pemimpin merupakan sikap yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Sebab  Islam tidak pernah mengajarkan mengagungkan manusia melebihi kadar yang  dibolehkan. Pada hari kiamat nanti orang-orang yang mengkultuskan para  pembesar ini akan menyesal dan menyadari kesalahan mereka, “Dan  mereka berkata, “Ya Tuhan Kami, sesungguhnya Kami telah menaati  pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar Kami, lalu mereka menyesatkan  Kami dari jalan yang benar”.” (QS. Al-Ahzab: 67).
Di antara  manusia yang Allah takdirkan menjadi penguasa memang ada jenis manusia  yang membawa kepada kemunkaran dan kezhaliman. Setiap muslim wajib  mewaspadainya dan mereka berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi  munkar terhadap penguasa yang zhalim. Tidak boleh membiarkan  kesalahannya merembet kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Meluruskan  yang bengkok dan memperbaiki yang salah adalah kewajiban setiap muslim.  Bukan menjadi pembebek-pembebek orang-orang yang menegakkan kebathilan  itu meskipun kebanyakan orang telah menjadi pengikutnya. Dalam sebuah  hadits, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,  “Janganlah  seseorang di antara kamu menjadi ima’ah”. Seorang sahabat bertanya,  “Apakah ima’ah itu ya Rasulullah?” “Ima’ah itu adalah orang yang  berkata, ‘Saya mengikuti bagaimana masyarakat saja, jika masyarakat  baik, maka saya akan menjadi baik, namun jika masyarakat buruk, saya pun  akan bersikap buruk’”, jawab Rasulullah. Kemudian Rasulullah  melanjutkan, “Tetapi perkuatlah jiwa kalian, jika masyarakat baik  ikutilah kebaikan mereka, dan jika masyarakat buruk maka jauhilah  keburukan mereka”. (HR. Turmudzi)
Masyarakat ima’ah (pembebek) itu terjerumus mengikuti pemimpin yang mengajak pada kesesatan. Allah memperingatkan,   “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah  dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu  neraka jahanam; mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk-buruk  tempat kediaman. Orang-orang kafir itu telah menjadikan sekutu-sekutu  bagi. Allah supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya.  Katakanlah: ‘Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat  kembalimu ialah neraka’.” (QS. Ibrahim: 28-30). Yang dimaksud  menukar nikmat Allah dengan kekafiran adalah menukar kepemimpinan yang  Allah berikan dengan menolak melaksanakan syariat Allah di muka bumi.  Kekuasaan hanyalah amanat dari Allah dan para penguasa harus  menjalankannya sesuai dengan kehendak Allah. Para penguasa yang  mempertahankan kelemahannya dengan segala cara dan tipu daya tergolong  membawa rakyatnya pada kekufuran dan akan menanggung akibatnya di Hari  Akhirat nanti.
Bila penguasa tidak berjalan di atas syariat yang  benar maka kebenaran dan kebatilan akan menjadi jungkir balik. Bila  penguasa tidak memiliki tanggung jawab terhadap amanat yang dipikulnya  maka dia akan membiarkan kondisi masyarakat porak poranda. Dia tidak  menjalankan fungsinya menimbulkan ketenteraman di tengah masyarakat. Dia  membiarkan rakyatnya saling bertikai bahkan mungkin saling bunuh.
Sebagai  hamba Allah, manusia tentu punya kelebihan dan kekurangan. Demikian  juga para pemimpin di suatu negeri. Kelebihannya itu bukan untuk  disucikan dan diagungkan manusia lain, sedangkan kekurangannya pun bukan  untuk dihina manusia lain. Kelebihan manusia selayaknya didayagunakan  untuk hal-hal yang bermanfaat, dipadukan dengan kelebihan manusia lain  agar semakin kokoh dan kuat.
Sementara itu kekurangan setiap  manusia harus diakui dan jangan sampai dianggap kelebihan sehingga  terjebak pada sikap membenarkan yang salah. Kekurangan manusia dapat  ditutupi dengan bekerja sama dengan manusia lain. Manusia dituntut  bekerja sama, bahu membahu, dan saling tolong menolong untuk memunculkan  kebajikan takwa. Manusia dilarang bekerja sama dalam dosa dan  permusuhan. Firman Allah Ta’ala, “Bekerjasamalah kalian dalam kebajikan dan taqwa dan janganlah kalian bekerja sama dalam dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maaidah: 2)
Dalam  pandangan Islam, setiap orang dapat disebut baik sepanjang pribadinya  membawa kebajikan dan ketakwaan. Artinya, dalam hubungan horizontalnya  di tengah manusia dia bermanfaat dan menjadi sumber berbagai kebaikan  bagi orang lain. Orang merasakan kehadirannya sebagai manusia yang penuh  keberkahan. Sedangkan dalam hubungan vertikalnya, dia dapat  meningkatkan ketakwaan dirinya dan ketakwaan orang lain kepada Allah.  Manusia yang hidupnya menyusahkan orang lain atau menjauhkan manusia  dari jalan Allah adalah manusia yang buruk.
Bila suatu masyarakat  bersepakat bahwa seorang pemimpin itu hidupnya menyulitkan orang lain,  hampir dapat dipastikan bahwa orang tersebut memang jelek. Nabi Muhammad  Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,  “Ada tiga orang yang dibenci  Allah (salah satu di antaranya) seseorang yang memimpin suatu masyarakat  sedangkan mereka membenci pemimpin itu”. (Al Hadits).
Memuliakan manusia ada batasnya. Kita wajib memberikan hak manusia untuk dihargai sesuai dengan dhawabith (patok-patok berpikir) yang ditentukan ajaran Islam menghormati manusia  lain tidak boleh sampai menyanjung atau memujanya. Setiap orang berhak  memperoleh penghargaan sesuai dengan tuntutan Rasulullah Shalallahu  Alaihi Wa Sallam, “Man lam yasykurinaas lam yasykurillah” (Barang siapa  yang tidak pandai mensyukuri kebaikan manusia berarti belum disebut  bersyukur kepada Allah). Tetapi penghargaan itu tidak boleh sesuatu yang  menjerumuskan kita pada kemungkaran dalam aqidah.
Nabi Muhammad  Shalallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Hubbuka fissyai yu’ma wa yu’sham”  (Kecintaanmu kepada sesuatu itu dapat membutakan dan menulikan kamu).  Menyukai sesuatu tidaklah dilarang sepanjang tidak melanggar  kaidah-kaidah yang telah ditentukan dalam ajaran Islam.
Ada dua  kaidah yang harus dipegang teguh: Pertama, menyukai orang tertentu tidak  boleh sampai jatuh kepada kultus yang dilarang. Kedua, mencintai harus  karena Allah. Artinya, seseorang itu disukai kalau memang disukai Allah  dan seseorang itu dibenci jikalau dibenci Allah. Jadi bukan ukuran  masyarakat banyak yang menjadi standar. Orang yang mencintai orang lain  secara buta tuli sangat berbahaya karena menimbulkan kultus individu dan  kemurkaan Allah.
Di antara akibat buruk dari kultus individu adalah,
1. Membawa pada kemusyrikan, sedang syirik merupakan dosa besar yang tidak diampuni Allah sampai pelakunya benar-benar bertaubat.
1. Membawa pada kemusyrikan, sedang syirik merupakan dosa besar yang tidak diampuni Allah sampai pelakunya benar-benar bertaubat.
2. Menyeret pelakunya pada kekafiran yaitu bila orang yang menjadi tokoh pujaannya mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
3. Mudah dibodohi orang lain karena pertimbangan akalnya sudah hilang diganti oleh pertimbangan emosi dan kedangkalan berpikir.
4. Tidak mampu melihat kebenaran pada pendapat orang lain, bagaikan orang yang buta matanya, hati orang yang sedang kultus pun buta dari melihat kebenaran. Dia selalu menyalahkan orang lain.
5. Mudah menyesal dan putus asa sebab tatkala yang dipujanya mengalami kebangkrutan dia pun akan frustrasi dan bangkrut pula.
6. Menimbulkan berbagai pertentangan, kebencian, dan permusuhan dalam masyarakat karena pembelaan orang yang kultus terhadap pujaannya menimbulkan pertentangan.
Manusia, khususnya bangsa Indonesia,  sering kali tidak mampu mengambil pelajaran dari masa lalu. Betapa  banyaknya orang-orang yang tadinya dipuja-puji pada akhir kehidupannya  dicaci maki. Mengapa kesalahan-kesalahan masa lalu selalu terulang  kembali? Ini disebabkan karena mereka tidak mau menjadikan Al-Quran  sebagai pedoman hidup dalam memilih pemimpin. Karena mereka melupakan  bimbingan Kitabullah dalam melaksanakan kehidupan.
—
Saduran dari Khutbah Idul Adha 1412 H
Saduran dari Khutbah Idul Adha 1412 H
oleh Ust Aus Hidayat Nur 
0 komentar:
Posting Komentar