Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Boyolali mengungkapkan alasan pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) persusuan. Kabupaten yang dikenal sebagai penghasil susu ini dalam beberapa tahun terakhir ternyata menghadapi carut marut pengelolaan persusuan.
Kepala Disnakkan Boyolali Bambang Jiyanto mengaku, masalah persusuan di Boyolali mencakup mahalnya harga pakan hingga masalah pembibitan sapi. Hal itu diperparah dengan kurang optimalnya kinerja koperasi unit desa (KUD) susu. Sehingga pada 2015 lalu Bupati Boyolali Seno Samodro mencetuskan ide pembentukan BUMD persusuan.
Menurut dia, dari sekitar 70 ribu sapi perah di Boyolali, sebagian besar masih diternakkan secara individu. Selain itu, upaya peningkatan produksi susu sapi kurang diimbangi produktivitas peternak yang masih mengelola secara tradisional.
Dari total jumlah sapi perah tersebut, lanjut dia, hanya 20 persen yang produktif menghasilkan susu. Adapun hasil produksinya sekitar 100 ribu liter per hari.
Mengingat 80 persen susu di Indonesia saat ini masih impor, dia menilai hasil produksi susu di Boyolali masih jauh dari harapan. "Sebanyak 70 ribu sapi perah tersebut kan tidak semuanya menghasilkan susu. Ada yang jantan, masih anakan. Apalagi sapi perah yang sedang laktasi serta hamil juga tak bisa diperah susunya," ungkap Bambang.
Disisi lain, peternak yang memiliki sapi perah dengan jumlah banyak di Boyolali masih terhitung sedikit. Idealnya, satu peternak memelihara 10 ekor sapi perah sehingga produksi susunya bisa mensejahterakan peternak.
"Peternak juga punya kebiasaan menjual (sapi perah) bibit unggul jika ada yang menawar dengan harga tinggi. Faktor ini tentu mempersulit proses pembibitan. Karena pembeli sapi itu biasanya orang luar kota. Disamping itu, harga susu juga enggak transparan. Nah nantinya jika BUMD terbentuk, kita akan membelinya dengan harga yang layak dan transparan. Sehingga harga susu dapat terjaga dan meningkatkan kesejahteraan peternak sapi," tandas Kepala Disnakkan Boyolali.
0 komentar:
Posting Komentar