Mobilisasi birokrasi menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Boyolali sangat masif terjadi. Para pegawai negeri sipil (PNS) yang menjadi abdi negara hampir tidak kuasa menolak, tatkala intervensi politik menindas dirinya. Ketakutan PNS Boyolali yang berlebihan ini justru dimanfaatkan kekuatan politik tertentu untuk menuju puncak kekuasaan. PNS Boyolali bagaikan kerbau dicocok hidungnya dan tidak kuasa berbuat apapun.
Ini adalah fakta politisi Boyolali yang tidak memberi contoh baik, tetapi justru turut mengarahkan, mengendalikan sekaligus mengelola PNS dengan cara salah. Penguasa Boyolali justru memanfaatkan birokrasi dan menjadikan sebagai bemper aman demi melanggengkan kuasanya. Akibatnya, PNS menjadi bola sepak yang bukan lagi mengabdi kepada Negara, tetapi mengabdi pada kekuasaan yang mau memberikan jabatan kepada dirinya.
Terjadinya relasi kekuasaan dalam birokrasi menunjukkan konsentrasi dalam rangka mempertahankan posisi elite melalui manipulasi dan rekayasa terselubung. Elite birokrasi tanpa disengaja terus-menerus mereproduksi kesenjangan sosial antara bawahan dan struktur kepemimpinan. Proses reproduksi kesenjangan sosial ini dilakukan PNS Boyolali untuk melanggengkan kekuasaan tanpa menghiraukan sisi martabat dan harga diri sebagai birokrasi.
PNS Lemah
Mengapa demikian? Ternyata PNS Boyolali banyak yang tidak paham regulasi atas posisi dirinya sebagai abdi Negara. Akibat ketidakpahaman regulasi, PNS Boyolali mudah dibodohi penguasa. Para PNS Boyolali mudah di-design menjadi “robot” kekuasaan tanpa memperhitungkan aspek netralitas dan profesionalisme sebagai abdi Negara. Akibat budaya “malas” PNS Boyolali untuk belajar aturan, membuat dirinya mudah dijadikan barang mainan kekuasaan.
Kedua, kecilnya “nyali” para PNS Boyolali. Menurut penulis, mayoritas PNS di Boyolali boleh dibilang bernyali kecil dan kerdil. Bayangkan saja, PNS dimutasi tidak sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian hanya diam saja. Hampir tidak ada protes atau tindakan perlawanan hukum sebagai wujud ketidakadilan penguasa kepada birokrasi. Ciutnya nyali PNS Boyolali justru dimanfaatkan para penguasa untuk bisa berbuat semena-mena. Barangkali, penguasa Boyolali tertawa melihat PNS Boyolali kehilangan nyali.
Ketiga, minimnya solidaritas sesama PNS di Boyolali. Kalau mau jujur, para PNS Boyolali saat ini sangat egois. PNS Boyolali tidak pernah menengok ke kanan dan ke kiri untuk melihat teman sejawatnya. PNS Boyolali mayoritas hanya mencari cara selamat untuk dirinya masing-masing dan hampir minim solidaritas sesama birokrasi. Akibatnya, PNS mudah dipecah belah kekuasaan yang memanfaatkan birokrasi sebagai alat kekuasaan semata.
Keempat, PNS Boyolali banyak yang ambisi jabatan. Besarnya syahwat birokrasi untuk mendapatkan jabatan struktural, telah membuat PNS di Boyolali lupa diri. Para PNS Boyolali lupa tentang hakikatnya sebagai abdi negara, tetapi kini sudah terjerumus dalam lubang kekuasaan. Ambisi besar untuk mendapatkan kekuasaan, mengakibatkan PNS Boyolali berlomba-lomba menggadaikan harkat dan martabat sebagai aparatur negara.
Kelima, lemahnya organisasi Korpri Boyolali. Organisasi birokrasi yang bernama Korps Pegawai Negeri (Korpri) tidak mampu memainkan perannya di Boyolali. Korpri Boyolali tidak bisa diharapkan menjadi tempat berlindung bagi PNS yang menjadi korban kekuasaan arogan. Lebih menyedihkan lagi, Korpri Boyolali kini mati suri karena digantikan paguyuban PNS pendukung penguasa yang tidak jelas bentuknya.
PNS Kendil
Menurut penulis, fenomena birokrasi Boyolali layak disebut birokrasi ”Kendil”. Makna birokrasi ”kendil” artinya sama dengan PNS yang hanya memikirkan perut atau hanya kepentingan pribadinya. Keterbatasan pengetahuan, akses dan jaringan birokrasi Boyolali mencetak PNS kendil yang melahirkan watak kapitalis birokrat. Watak PNS ini selalu menggunakan kekuasaan untuk mendapatkan sumber daya demi kepentingan pribadinya.
Kelemahan PNS kendil Boyolali tampak dimanfaatkan pihak sang penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Tanpa disadarinya, penguasa paham beberapa titik lemah PNS kendil Boyolali dan kemudian diperalatnya untuk melakukan apapun. Titik lemah utama karena PNS kendil ini takut tidak mendapatkan jabatan dalam pemerintahan.
Tingginya syahwat PNS kendil yang ingin menjabat di pemerintah, membuat penguasa mudah memainkan perintahnya. Apapun yang diperintahkan penguasa, pasti dilakukan para PNS kendil Boyolali karena pasti diiming-imingi jabatan.
Kedua, PNS kendil Boyolali takut kalau di mutasi ke tempat kerja yang jauh. Rasa tidak percaya diri PNS kendil Boyolali dimanfaatkan penguasa agar tunduk atas perintahnya. Kalau PNS kendil Boyolali tidak mau tunduk, maka akan dimutasi penguasa ke tempat yang jauh. Hanya dengan ancaman saja, PNS kendil Boyolali tidak berkutik dan langsung tunduk dengan kekuasaan. Padahal, semakin takut justru membuat penguasa semakin kencang menekan, menindas dan mengancam para PNS kendil Boyolali.
Ketiga, PNS kendil Boyolali ini hanya mengabdi kepada kekuasaan. Mengingat PNS Boyolali sudah tunduk dan takluk dengan kekuasaan, maka tanpa disadari sang penguasa semakin arogan. PNS kendil Boyolali hanya dijadikan ajang bulan-bulanan dan tempat pemerasan. Birokrasi Boyolali kini sudah kehilangan harga diri sebagai abdi negara, tetapi berubah menjadi abdinya penguasa. Pada titik ini, PNS kendil Boyolali sangat mudah untuk dijadikan mesin politik meraup suara.
Kalau mau sadar diri, ketidakberdayaan PNS kendil Boyolali hanya dimanfaatkan untuk melakukan mobilisasi birokrasi. Alangkah rendahnya harkat dan martabat PNS kendil Boyolali tatkala mau di suruh berkumpul, iuran dan menjadi alat politik kekuasaan. Akibat rendahnya harga diri PNS kendil Boyolali ini, tanpa disadari justru penguasa mengeksploitasi hingga habis-habisan. Lebih mengerikan lagi, kedepan dan lambat laun PNS kendil Boyolali ini pasti akan mendapatkan ancaman dan penidasan apabila sedikit ada kesalahan.
Rakyat Boyolali harus maklum, bahwa PNS kendil Boyolali ini nyalinya tidak sebesar PNS kota Tegal yang berani melawan kekuasaan yang zalim. Pada saat Walikota Tegal menerbitkan SK non-job ke para PNS tanpa ada dasar, mereka tegas berani menolak. Bahkan, para PNS kota Tegal berani menduduki pendapa Balaikota dengan memasang spanduk penolakan pemerintahan dengan pemimpin zalim dan arogan.
Apalagi kalau dibandingkan PNS Kabupaten Temanggung yang begitu berani dan lantang berorasi untuk menurunkan Bupati arogan. Para PNS Temanggung pada waktu itu berani membuat posko perjuangan untuk melawan arogansi Bupatinya. Hebatnya lagi, PNS Temanggung saat itu tidak bersedia menerima iming-iming jabatan baru karena pertimbangan hati nurani. Para PNS Temanggung sadar diri bahwa prosedur mutasi yang tidak benar akan semakin memperkeruh suasana dan menjatuhkan harga diri sebagai abdi negara.
Akibat ketidakjelasan sikap birokrasi ini, wajar bila PNS kendil Boyolali menjadi arena bulan-bulanan kekuasaan. Kalau PNS kendil Boyolali mudah untuk di suruh iuran, maka diperas saja sekalian. Kalau PNS kendil Boyolali mudah dipolitisasi, maka harus digerakkan. Demikian juga kalau PNS kendil Boyolali sudah nyaman di bawah ancaman, lebih baik di tindas sekalian. Bukankah nyaman begitu PNS kendil Boyolali?.
Sangat miris dan menjelaskan dengan gamblang kualitas birokrasi dan politik yang sangat rendah. Boyolali butuh pembaharuan!
BalasHapusJaman e memang koyo ngene kok jengx.... tinimbang di pindah adoh Yo malah rekoso...manut ae asal bapak senang kan aman .. xhaaaaaa xhaaaaaa xhaaaaaa
HapusJaman e memang koyo ngene kok jengx.... tinimbang di pindah adoh Yo malah rekoso...manut ae asal bapak senang kan aman .. xhaaaaaa xhaaaaaa xhaaaaaa
HapusSopo sing waniiiiii.karo sing ndwe Boyolali . xhaaaaaa xhaaaaaa xhaaaaaa
BalasHapusSopo sing waniiiiii.karo sing ndwe Boyolali . xhaaaaaa xhaaaaaa xhaaaaaa
BalasHapus