@salimafillah
Ini tentang cemburu kita kepada semut.
Betapa kata-katanya diabadikan oleh Kalam Suci yang berlaku sepanjang zaman, bersebab niat tulusnya menyelamatkan sesama kawanan. Inilah ketika bala tentara Sulaiman yang terdiri atas jin, manusia, burung-burung, dan segala hewan, berarak hendak melintas di lembah mereka dalam gempita kemegahan.
“Maka ketika mereka tiba di lembah yang dihuni oleh bangsa semut, berkatalah seekor semut, ‘Wahai sekalian para semut, masuklah kalian ke dalam lindungan tempat tinggal kalian, agar Sulaiman dan bala tentaranya tidak menginjak kalian sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS An Naml [27]: 18)
Ini tentang cemburu kita kepada semut, betapa ucapannya amat mulia sehingga menjadi bagian dari firman Rabb semesta alam yang menjadi petunjuk, rahmat, dan mau’izhah bagi ummat manusia sampai hari kiamat tiba. Apakah yang istimewa, apakah yang berharga dari kalimatnya?
“Yang pertama”, demikian seperti dirangkum Dr. Nashir ibn Sulaiman Al ‘Umar dan rekan-rekan beliau dalam senarai Liyadabbaruu Aayaatih, “Karena ucapan semut ini ditujukan untuk menyelamatkan hidup kawanannya. Sungguh mulia ucapan yang ditujukan untuk memelihara jiwa sesama, sehingga kata-kata ini diabadikan oleh Allah dalam wahyuNya.”
Maka jika kalimat semut yang menyelamatkan sesama semut layak dikekalkan oleh ayat-ayat Rabbul ‘Alamin; betapa lebih berhak untuk diluhurkan pula ucapan manusia yang ditujukan untuk menjaga keselamatan sesama manusia. Sebab Allah sendiri menyatakan bahwa penyelamatan satu jiwa manusia senilai dengan menjaga seluruh hayat mereka.
“..Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya..” (QS Al Maidah [5]: 32)
Yang kedua, sesungguhnya jikapun para semut binasa, maka mereka hanya telah menggenapi umurnya dalam kehidupan dunia. Mereka hanya menggenapi takdirnya sampai suatu batas masa. Begitu sahaja, selesai semua. Ini berbeda dengan manusia yang setelah kematiannya akan menghadapi pertanyaan malaikat, nikmat atau ‘adzab kubur, kebangkitan, penghimpunan di padang Mahsyar, hisab ‘amal, pengadilan Allah, penyerahan kitab catatan, timbangan pahala dan dosa, shirath, serta surga dan neraka.
Ini tentang cemburu kita kepada semut yang berusaha sebaik-baiknya untuk menyelamatkan sesamanya, padahal jikapun mereka binasa takkan ada bahaya yang menantinya. Adapun kita manusia sungguh akan mempertanggungjawabkan seluruh kehambaan dan mengawali hidup keabadian justru sesudah kematian.
Perkataan yang menyelamatkan hidup akhirat manusia jauh lebih agung daripada kekata yang menyelamatkan hidup dunianya, dan pembicaraan yang menyelamatkan hidup dunia para insan jauh lebih agung daripada ungkapan yang menyelamatkan hidup kawanan semut. Maka ucapan yang teragung itu disebut dakwah, dan hanya dengannyalah kalimat-kalimat kita melesat tinggi ke derajat yang tak dapat digapai dengan segala isi dunia.
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (QS. Fushshilat [41]: 33)
“Orang yang terbaik ucapannya”, tulis Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, “Adalah dia yang mengajak hamba Allah ke jalanNya.” “Dia adalah mukmin yang Allah menerima seruannya”, demikian penjelasan Imam Hasan Al Bashri seperti terkutip dalam Fathul Qadir, “Dan dia pun menyeru sesamanya untuk taat kepada Allah.”
Walhasil, ini tentang cemburu kita kepada semut, yang kata-katanya dibawakan oleh Malaikat termulia, Jibril ‘Alaihis Salaam, kepada Rasul termulia, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka kitapun mencurahkan lisan kita ke dalam dakwah agar mengunggulinya.
☆☆☆
Ini juga tentang cemburu kita kepada Hud-hud.
Seribu lima ratus mil ia terbang di musim dingin itu dari Kan’an menuju Saba’ untuk menyaksikan sebuah negeri yang makmur sentausa serta dipimpin oleh seorang Maharani yang bijaksana. Dan Hud-hud si burung yang lulut, trenyuh hatinya oleh keprihatinan melihat keadaan mereka yang sayangnya belum mengenal Allah sehingga beribadah kepada sang surya.
Maka ia terbang berbalik arah seribu lima ratus mil lagi menuju tuannya, sang da’i agung, Nabi Diraja Sulaiman ‘Alaihissalaam. Dihaturkannya keprihatinan itu dengan penuh semangat.
“Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan Allah, sehingga mereka tiada mendapat petunjuk..” (QS An Naml [27]: 24)
Sulaiman putra Dawud yang bijaksana meminta Hud-hud membuktikan laporan ini dengan mengutusnya untuk membawa surat dakwah ke negeri Saba’. Maka burung berjambul itu terbang lagi seribu lima ratus mil ke selatan dan menjatuhkan suratnya di pangkuan sang ratu serta memastikan bahwa ia dibaca serta dibahas dengan para nayaka dan punggawa Saba’. Lalu Hud-hud yang berhasil terbang kembali menuju rajanya yang adil, hingga genaplah 6000 mil perjalanan dakwah si burung kecil.
Adakah kita seperti Hud-hud? Terbang jauh ke utara dari Nusantara dan menemukan suatu kaum yang hampir 2 milyar jumlahnya dengan sebahagian besar tak mengenal siapa penciptanya? Terbang sedikit ke lepas pantai timurnya dan menemukan sebuah negeri dengan orang-orang yang mengamalkan kebersihan sebagai bagian dari keyakinan tanpa mengetahui ada hadits “Wath thahuuru syathrul iman”, amat rajin membaca tanpa pernah mengenal ayat “Iqra’”, amat menghargai waktu meski tak mengkaji tafsir surat “Wal ‘Ashri”, dan hidup dalam tertib teratur lagi taat hukum meski tak percaya bahwa kelak ada akhirat untuk mempertanggungjawabkan diri?
Adakah kita seperti Hud-hud? Terbang ke timur melintasi samudra terbesar di dunia dan menjumpa sebuah bangsa yang adidaya, penduduknya bangga akan kemakmuran dan kemajuannya, baik hati pada dasarnya, hanya sayang ketidaktahuan khalayak sering berpadu dengan kepentingan beberapa insan kuasa yang tamak, sehingga tak ramah kepada kita yang mengimani Allah sebagai Rabb Maha Pengasih dan Muhammad sebagai Nabi terpilih? Adakah kita seperti Hud-hud; terenyuh dan dadanya gemuruh untuk segera membawakan fahaman yang menyentuh dan menjernihkan segala keruh?
Adakah kita seperti Hud-hud? Melintas lagi ke timurnya, menggapai sebuah benua tua yang pernah menumpuk-numpuk kekayaan dari segala penjuru dunia? Benua yang kini sedang diuji: Akankah nilai-nilai tentang hak asasi bagi setiap insan, persamaan yang tak membedakan asal, warna kulit, dan bahasa, juga persaudaraan kemanusiaan yang melampaui batas kebangsaan menang di hadapan ego untuk mendaku “asli”, merasa “pribumi”, serta menganggap mereka yang datang sebagai gangguan, ancaman, bahkan teror? Sedangkan arus manusia dari bentangan Maroko hingga Suriah dan Iraq hingga Bangladesh yang datang hanya mengikuti kaidah alami: ke mana sumberdaya penopang hidup mengalir, ke sana manusia bergerak.
Adakah kita seperti Hud-hud; menata keprihatinan itu kepada warga budaya Yunani-Roma sekaligus pada saudara seiman kita di tengah mereka yang gegar budaya? Adakah kita bergegas melapor kepada mereka yang punya kemampuan untuk menyampaikan Diin ini dengan memesona seperti yang dilakukan Sulaiman pada Ratu Saba’? Atau bahkan kita harus melaporkan itu kepada anak-anak kita, agar mereka bergegas setelah iman serta Quran dan hadits serta sains, belajar bahasa Inggris dan Perancis, Spanyol dan Latin, Jerman dan Rusia, Mandarin dan Jepang juga?
Ini tentang cemburu kepada Hud-hud sehingga kita berkata pada anak-anak kita, “Nak, dakwah Nusantara sudah menjadi jatah Ayahanda; di luar itu, tugasmu membentang sejauh kepulauan Jepang hingga Eropa, dari daratan Cina hingga benua Amerika.”
“Sebab”, lanjut kita pada mereka, “Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dijadikan Allah sebagai rahmat bagi semesta alam. Tapi dalam tapak-jejaknya di atas bumi beliau baru sejauh-jauh menyusuri Makkah-Madinah-Tabuk-Al Quds. Maka kitalah, kami dan kalianlah yang bertugas menjadi duta-dutanya kepada alam semesta, menjadi sarana Allah untuk menghadirkan rahmatNya bagi ummat manusia di manapun berada.”
☆☆☆
Akhirnya, ini adalah tentang cemburu kepada anjing yang turut.
Bayangkan binatang yang najis, yang kerjanya mengais, yang suka menjulurkan lidah dengan gigi meringis; tetapi betapa amat pentingnya sehingga ia disebut berulang kali sebagai si istimewa seperti termaktub dalam Al Quranul ‘Azhim yang kalimatnya berakar kokoh dan berbuah manis.
“..Yang keempat dari mereka adalah anjing mereka..” (QS Al Kahfi [18]: 22)
“..Yang keenam dari mereka adalah anjing mereka..” (QS Al Kahfi [18]: 22)
“..Dan yang kedelapan dari mereka adalah anjing mereka..” (QS Al Kahfi [18]: 22)
Oh betapa mulia, sebab ia membersamai orang-orang yang mengesakan Rabbnya. Oh betapa mulia, sebab ia menemani kawanan yang rela meninggalkan segala kenikmatan dunia demi iman mereka. Oh betapa mulia, sebab ia menjadi sahabat setia bagi para pemuda yang berjuang untuk mempertahankan agamanya.
Maka ini adalah cemburu kita pada anjing yang turut; jika sang hewan yang kenajisannya berat berhak meraih penyebutan bertubi dalam firman dari Dzat yang Maha Suci, betapalah kita amat jauh lebih berharap dicantumkannya nama-nama kita dalam keridhaanNya. Oleh karena itulah kita bergabung ke dalam ‘amal-‘amal dakwah. Oleh karena itulah kita menyumbangsihkan apa-apa yang kita bisa dari waktu, fikiran, harta, dan tenaga. Oleh karena itulah kita mencintai para da’i dan ‘ulama, dan menyiapkan jiwa raga untuk berkorban bersama mereka di jalan Allah yang mulia.
“..Sedang anjing mereka menghulurkan dua kaki depannya di dekat pintu gua..” (QS Al Kahfi [18]: 18)
Duhai, lihatlah anjing ini. Yang ia lakukan hanyalah menjulurkan kaki. Sungguh betapa tak enak dilihat adegan ini. Tetapi sang anjing dan perilakunya ini diabadikan dalam Kitab Suci yang berlaku abadi. Jika diri kita yang adalah manusia ini menyelonjorkan kaki, adakah kiranya surat kabar yang sudi menjadikannya tajuk utama berita hari ini? Tapi sang anjing, perbuatannya yang amat biasa bukan hanya menjadi headline koran, melainkan headline Al Quran. Bahkan jika tiap kalimat yang memberitakan sang anjing berselonjor ini kita baca, sepuluh kebajikan adalah nilai bagi setiap huruf penyusunnya.
Akhirnya, ini adalah tentang cemburu kepada anjing yang turut.
Betapa kita ingin agar setiap detak kita, gerak kita, duduk dan berbaring kita, berdiri dan berjalan, melangkah dan merangkak, berlari dan berhenti, bicara dan menulis, diam dan mendengar, berlatih dan berbuat, mencari dan memberi; kita berharap semua itu mengabadi dalam keridhaan Allah sebagaimana sang anjing yang menghulurkan kaki.
Ya Allah..
Lalu sebagaimana anjing itu dihimpun bersama para pemuda Ashhabul Kahfi; himpunkan kami Ya Rabbi meski kelayakan kami jauh di bawah sang anjing yang selalu setia hati, himpunkan kami bersama Rasulullaah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat dan keluarganya, para shiddiqin dan syuhada’, para shalihin dan auliya’ di dalam Firdausil A’laa.
Ya Allah.. Inilah cemburu kami.
0 komentar:
Posting Komentar