nggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Refrizal memberikan catatan akhir tahun 2016 Pemerintahan Jokowi-JK, di bidang Perekonomian Indonesia. Dalam penilaian Refrizal, salah satu salah satu kelemahan pemerintah Jokowi adalah soal ketidakmampuannya mengubah struktur PDB Indonesia yang masih didominasi oleh peranan sektor konsumtif.
“Struktur PDB Indonesia di 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK masih tidak berubah. Peranan belanja rumah tangga masih sangat dominan. Bahkan sektor ekspor dan impor yang diharapkan dapat tumbuh dengan baik ternyata malah berperan lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya,” jelas Refrizal dalam siaran persnya.
Di sisi lain, peranan investasi langsung pada Triwulan III-2016 cenderung melambat, hanya 31,98 persen sedangkan pada Triwulan II-2016 mencapai 32,47 persen dan pada Triwulan III-2015 mencapai 32,36 persen.
“Data-Data tersebut mengonfirmasi bahwa masih banyak persoalan investasi di Indonesia. Meski pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan namun persoalan-persoalan mendasar belum terselesaikan. Beberapa diantaranya adalah masalah perizinan di daerah dan ketersediaan infrastruktur,” ungkap wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini.
Peringkat cost doing business Indonesia, papar Refrizal, sedikit membaik menjadi urutan ke 91 dari 106 negara. Hanya saja berbagai indikator masih jauh di bawah rata-rata negara Asia Pasifik, seperti memulai usaha. Sayangnya berbagai data yang digunakan dalam cost doing business hanya diwakili oleh Jakarta dan Surabaya, sehingga tidak mencerminkan kondisi Indonesia seutuhnya.
“Satu hal yang krusial hingga 30 September 2016, realisasi penerimaan negara baru mencapai Rp 1.081,9 triliun atau 60,6% dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2016 sebesar Rp 1.786,2 triliun padahal pemerintah sudah menggulirkan program tax amnesty. Diharapkan dalam 3 (tiga) bulan tersisa kekurangan target penerimaan negara dapat tercapai,” tegas Refrizal.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan hanya 5,1 persen, sedangkan pertumbuhan perekonomian global tahun 2016 diperkirakan sebesar 3,1 persen. Isu-isu global seperti Brexit, permasalahan utang China, injeksi fiskal Jepang yang belum cukup berhasil, hingga terpilihnya presiden AS Donald Trump, membuat kondisi perekonomian global semakin tidak pasti, hal-hal ini membuat konsumen cenderung menahan belanja.
Padahal, struktur PDB Indonesia didominasi oleh peranan belanja rumah tangga. Untuk itu, ditengah ketidakpastian global, melambatnya realisasi investasi dan seretnya realisasi penerima negara diharapkan pemerintah dapat melakukan sinergi antar kelembagaan, termasuk dengan BUMN.
“Untuk mendukung tercapainya target penerimaan negara, pemerintah harus saling bersinergi. Tidak tumpang tindih dalam mengeluarkan kebijakan dan memperkuat peran-peran pembangunan BUMN” jelas Refrizal.
Salah satu cermin tidak terkonsolidasi tim ekonomi pemerintah dengan baik adalah soal polemik revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000 yang berkembang sejak Agustus 2016. Revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000 ini disinyalir akan mengubah peta industri telekomunikasi di Indonesia salah satunya adalah karena diberlakukannya kewajiban network sharing dan diperbolehkannya frequency sharing antar operator.
“Salah satu contoh konsolidasi antar lembaga pemerintah yang lemah tercermin dalam revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000. Revisi kedua PP ini akan menyebabkan potensi hilangnya pendapatan negara dalam 5 tahun kedepan sekitar Rp 100 triliun dan hilangnya pendapatan BUMN sebesar Rp 200 triliun. Apalagi disinyalir isi revisi PP ini bertentangan dengan UU di atasnya," papar Refrizal.
Apalagi pemerintah melalui jargon Nawacita nya menegaskan akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Revisi PP ini berpotensi menghambat pembangunan di daerah terpencil dan terluar.
“BUMN adalah salah satu agen pembangunan yang dapat mewujudkan visi-misi pemerintah. BUMN dapat berperan melakukan pembangunan didaerah-daerah terpencil dengan penugasan-penugasan. Untuk itu, pemerintah harus pula memperkuat peran BUMN dalam pembangunan dan memandangnya sebagai mitra,” tegas Refrizal.
Secara umum, Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada di atasnya. Revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000 berpotensi bertentangan dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi. DNA
“Struktur PDB Indonesia di 2 tahun pemerintahan Jokowi-JK masih tidak berubah. Peranan belanja rumah tangga masih sangat dominan. Bahkan sektor ekspor dan impor yang diharapkan dapat tumbuh dengan baik ternyata malah berperan lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya,” jelas Refrizal dalam siaran persnya.
Di sisi lain, peranan investasi langsung pada Triwulan III-2016 cenderung melambat, hanya 31,98 persen sedangkan pada Triwulan II-2016 mencapai 32,47 persen dan pada Triwulan III-2015 mencapai 32,36 persen.
“Data-Data tersebut mengonfirmasi bahwa masih banyak persoalan investasi di Indonesia. Meski pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan namun persoalan-persoalan mendasar belum terselesaikan. Beberapa diantaranya adalah masalah perizinan di daerah dan ketersediaan infrastruktur,” ungkap wakil rakyat dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat II ini.
Peringkat cost doing business Indonesia, papar Refrizal, sedikit membaik menjadi urutan ke 91 dari 106 negara. Hanya saja berbagai indikator masih jauh di bawah rata-rata negara Asia Pasifik, seperti memulai usaha. Sayangnya berbagai data yang digunakan dalam cost doing business hanya diwakili oleh Jakarta dan Surabaya, sehingga tidak mencerminkan kondisi Indonesia seutuhnya.
“Satu hal yang krusial hingga 30 September 2016, realisasi penerimaan negara baru mencapai Rp 1.081,9 triliun atau 60,6% dari target penerimaan pajak yang ditetapkan sesuai APBN-P 2016 sebesar Rp 1.786,2 triliun padahal pemerintah sudah menggulirkan program tax amnesty. Diharapkan dalam 3 (tiga) bulan tersisa kekurangan target penerimaan negara dapat tercapai,” tegas Refrizal.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan hanya 5,1 persen, sedangkan pertumbuhan perekonomian global tahun 2016 diperkirakan sebesar 3,1 persen. Isu-isu global seperti Brexit, permasalahan utang China, injeksi fiskal Jepang yang belum cukup berhasil, hingga terpilihnya presiden AS Donald Trump, membuat kondisi perekonomian global semakin tidak pasti, hal-hal ini membuat konsumen cenderung menahan belanja.
Padahal, struktur PDB Indonesia didominasi oleh peranan belanja rumah tangga. Untuk itu, ditengah ketidakpastian global, melambatnya realisasi investasi dan seretnya realisasi penerima negara diharapkan pemerintah dapat melakukan sinergi antar kelembagaan, termasuk dengan BUMN.
“Untuk mendukung tercapainya target penerimaan negara, pemerintah harus saling bersinergi. Tidak tumpang tindih dalam mengeluarkan kebijakan dan memperkuat peran-peran pembangunan BUMN” jelas Refrizal.
Salah satu cermin tidak terkonsolidasi tim ekonomi pemerintah dengan baik adalah soal polemik revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000 yang berkembang sejak Agustus 2016. Revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000 ini disinyalir akan mengubah peta industri telekomunikasi di Indonesia salah satunya adalah karena diberlakukannya kewajiban network sharing dan diperbolehkannya frequency sharing antar operator.
“Salah satu contoh konsolidasi antar lembaga pemerintah yang lemah tercermin dalam revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000. Revisi kedua PP ini akan menyebabkan potensi hilangnya pendapatan negara dalam 5 tahun kedepan sekitar Rp 100 triliun dan hilangnya pendapatan BUMN sebesar Rp 200 triliun. Apalagi disinyalir isi revisi PP ini bertentangan dengan UU di atasnya," papar Refrizal.
Apalagi pemerintah melalui jargon Nawacita nya menegaskan akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Revisi PP ini berpotensi menghambat pembangunan di daerah terpencil dan terluar.
“BUMN adalah salah satu agen pembangunan yang dapat mewujudkan visi-misi pemerintah. BUMN dapat berperan melakukan pembangunan didaerah-daerah terpencil dengan penugasan-penugasan. Untuk itu, pemerintah harus pula memperkuat peran BUMN dalam pembangunan dan memandangnya sebagai mitra,” tegas Refrizal.
Secara umum, Peraturan Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan UU yang ada di atasnya. Revisi PP 52/2000 dan PP 53/2000 berpotensi bertentangan dengan UU No 36/1999 tentang Telekomunikasi. DNA
0 komentar:
Posting Komentar