Lebih 1000 rumah dibakar di desa-desa Rohingya di barat laut Myanmar dalam sebuah kepungan militer. Demikian gambar-gambar satelit yang dikeluarkan kelompok Human Rights Watch (HRW) Senin (21/11/2016).
Para tentara dikerahkan ke wilayah Rakhine di perbatasan Bangadlesh, daerah yang sebagian besar penduduknya adalah masyarakat minoritas Rohingya yang beragama Islam dan tidak memiliki kewarganegaraan, sejak serangkaian serangan maut dan terkoordinasi, diluncurkan di pos-pos perbatasan polisi bulan lalu.
Setidaknya 30000 orang kehilangan tempat tinggal akibat kekerasan itu, demikian kutip Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Setengah dari mereka kehilangan tempat tinggal selama periode dua hari ketika puluhan orang mati setelah pihak militer mengerahkan helikopter-helikopter penggempur.
Pasukan keamanan telah membunuh hampir 70 orang dan menangkap sekitar 400 orang sejak operasi militer itu dimulai enam minggu lalu, demikian menurut laporan media negara itu. Namun para aktivis mengatakan jumlah korban mungkin jauh lebih tinggi.
Perkosa Wanita
Saksi dan aktivis melaporkan pihak militer juga dikabarkan membunuh orang Rohingya, memperkosa wanitanya serta merampok dan membakar rumah-rumah mereka. Pemerintah Myanmar juga menolak mengizinkan para pengamat internasional melakukan penyelidikan menyeluruh.
Seorang pria Rohingya bernama Salaman mengatakan ia membantu untuk mengebumikan mayat seorang pria dan wanita yang ditembak mati oleh para prajurit di desa Doetan Senin kemarin.
“Para tentara datang ke desa Doetan pada 19 November sekitar 5.00 petang,” katanya dikutipAFP Senin (21/11/2016)
“Kebanyakan pria dari desa itu melarikan diri karena takut ditangkap dan disiksa. Kemudian mereka (tentara) mulai melepaskan tembakan dan dua orang mati,” tambahnya.
Aktivis hak asasi manusia, Chris Lewa, yang menangani Proyek Arakan di utara Rakhine, mengkonfirmasi laporan para saksi itu dan mengatakan dua orang bayi juga dihanyutkan arus sungai sedang para penduduk desa mencoba melarikan diri dengan menyeberangi sungai.
Namun juru bicara presiden Zaw Htay mencoba tidak membesar-besarkan isu gambar satelit itu.
“Apa yang kami lihat itu tidak lazim,” katanya kepada AFP. Dia juga membantah laporan-laporan kematian di desa Doetan itu.
“Kedua pemerintah dan militer melarang sekeras-kerasnya setiap pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap wanita dan anak-anak,” katanya.
Ratusan orang Rohingya, yang sudah lama ditindas negara itu, sudah mencoba melarikan diri dari kekerasan itu ke negara tetangga, Bangladesh.
Pemerintah sipil baru Myanmar, yang dipimpin pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, sudah menolak tuduhan itu sebagai bagian dari kampanye untuk memberikan informasi salah oleh golongan “teroris”.
Human Rights Watch hari mengatakan pada hari Senin melalui citra satelit telah mengidentifikasi 820 struktur lebih rumah dihancurkan di lima desa Rohingya antara tanggal 10-18 November 2016.
Secara total, kelompok hak asasi menyebut ada 1250 bangunan telah dihancurkan selama operasi pihak militer.
Namun pemerintah hanya mengakui kurang dari 300 rumah hancur dan menyalahkan serangan terhadap apa yang disebutnya “Bengali (Rohingya) pelaku pembakaran teroris”.
Lebih dari 100 orang tewas pada 2012 dalam bentrokan antara penduduk mayoritas Buddha dan Rohingya dan puluhan ribu dari mereka akhirnya didorong ke kamp-kamp pengungsian.
Bangkitnya kekerasan di Rakhine menimbulkan tantangan penting untuk pemerintah yang kini dikuasi Suu Kyi.
Kebanyakkan warga di Myanmar membenci Muslim Rohingya, yang mereka sebut sebagai imigran ilegal dari Bangladesh meskipun mayoritas mereka lahir dan hidup Myanmar dari generasi ke generasi.* Hidayatullah
0 komentar:
Posting Komentar