TRAGEDI 1965 menimpa para ulama dan pejabat negara saat itu. Itulah sebabnya, negara tidak perlu meminta maaf kepada siapapun terkait peristiwa tersebut. Penyelesaian kasus 1965 tidak bisa dilihat dari satu sisi, yakni Partai Komunis Indonesia.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid kepada wartawan terkait Simposium Nasional Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat.
Hidayat meminta kasus 1965 diselesaikan secara obyektif. Karena itu, harus ada wacana permintaan maaf dari PKI kepada ulama dan jenderal yang terbunuh. “Saya kira tidak fair yang disebut korban 1965 hanya mereka yang berafiliasi atau aktivis PKI,” ucapnya.
“Ada enggak tuntutan PKI harus minta maaf? Jangan pemerintah saja yang disuruh minta maaf,” ucap politikus Partai Keadilan Sejahtera di gedung MPR, Jakarta.
Hidayat sepakat dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyatakan negara tidak akan meminta maaf. Tindakan hukum, kata Hidayat, harus seimbang. Bila ingin mengadili pemerintah yang dianggap bertanggung jawab, adili pula orang-orang PKI.
Desak Negara
Sementara itu Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Hasyim Muzadi, tidak menyetujui arah simposium korban tragedi 1965 untuk mendesak Presiden Joko Widodo meminta maaf pada para korban tragedi 1965 itu atas nama negara.
“Desakan tersebut pasti membebani presiden, baik secara politik, keamanan maupun ekonomi, bahkan bisa terjadi kegoncangan,” kata Muzadi, dalam keterangan tertulisnya dikutip Antara, Selasa (19/04/2016).
Kalau yang dimaksud adalah “negara yang meminta maaf” kepada korban 65, tentu salah alamat karena negara tidak pernah salah apa-apa. “Yang bisa salah adalah rezim pemerintahan dalam masa pemerintahannya. Mengapa kejadian zaman pemerintahan Pak Harto harus Pak Jokowi yang meminta maaf?” katanya.
Pengasuh Ponpes Al Hikam ini menegaskan, negara bersifat permanen, sedangkan rezim bersifat temporer. Negara Indonesia sampai hari ini sudah berganti tujuh rezim pemerintahan. “Kalau dikembalikan ke zaman Pak Harto, sekarang ini sudah banyak yang wafat, juga korban tragedi 1965, lalu siapa meminta maaf siapa?” kata Muzadi.
Dalam pandangan Muzadi, desakan ke presiden untuk minta maaf atas nama negara, belum tentu menguntungkan kelompok Neo-Komunis, karena mayoritas bangsa terutama kaum muslimin dan umat beragama lain akan berbalik mendesak posisi kaum neo-komunis dan pelbagai aktivitas demokrasi.
“Padahal, saat ini tokoh-tokoh Neo-Komunis telah bebas menjabat di mana-mana tanpa ada yang meneliti. Kalau terjadi konflik malah akan terjadi penelitian. Lalu siapa yang untung? Tentu gerakan global yang akan menambah perpecahan di Indonesia,” tutur dia.
Sebagaimana pemberontakan PKI pada 1948, PKI setelah itu dengan mulusnya mengikuti Pemilu 1955, hal ini menunjukkan kemampuan luar biasa dalam membalikkan opini publik.
“Nanti kita lihat apakah dan bagaimana reaksi ormas-ormas termasuk ormas Islam? Karena ormas kecil hingga yang besar tentu telah kerasukan faham/tokoh Neokom sebagai bagian kondisioning,” kata kiai.
0 komentar:
Posting Komentar