"Sesuatu yang baru sudah pasti akan mengundang kontroversi. Dengan adanya kontroversi itu sendiri justru karena kita mencoba sesuatu yang baru. Tanpa mencoba sesuatu yang baru, tak ada yang akan mengubah nasib kita." (Warsito P Taruno, Republika, 1/12/2015)
Bahwasanya teknologi dan inovasi sering tidak sejalan dengan hukum dan kebijakan. Sementara, teknologi, inovasi, dan ekonomi begitu deras melaju, hukum dan perundang-undangan sering kali terengah-engah mengejar ketertinggalan.
Sayangnya juga, tidak semua hukum dan kebijakan bersifat responsif dan akomodatif. Alih-alih mengakomodasi perkembangan teknologi, acap kali hukum malah bersifat terlalu rigid, kaku, dan positivis, dengan mengatasnamakan kepastian hukum dan formalitas peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Contoh aktual dari disharmoni antara teknologi, inovasi, ekonomi, dan hukum adalah fenomena jaket kanker Doktor Warsito, produksi TV mandiri Kusrin, dan ojek online semacam Gojek dan Grabbike yang kehadirannya mengundang kontroversi dan kemudian berkonflik dengan hukum dan kebijakan di Indonesia.
Warsito Purwo Taruno, fisikawan Indonesia alumnus Jepang adalah penerima penghargaan BJ Habibie Technology Award (BJHTA) kedelapan. Penghargaan diberikan karena temuan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT), pendeteksi kanker otak dan payudara (Republika, 1/12/2015). Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker, yaitu Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Aplikasi ini telah didaftarkan paten Indonesia pada 2012.
CVT dan ECCT adalah harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi nonradiasi. Kedua teknologi ini tidak ada referensinya di dunia luar. Ini karena keduanya lahir di Indonesia dan pertama di dunia.
Sejak keberhasilan jaket kankernya pada beberapa pasien dan profilnya diangkat ke media nasional, pasien pun berbondong. Sebanyak 70-80 pasien per hari mendatangi tempat penelitian Dr Warsito di daerah Tangerang.
Menurut Kemenkes, klinik itu belum sesuai standar dan izin operasional yang berlaku. Akibatnya, operasional 'klinik' terancam terhenti dan ratusan penderita kanker calon pengguna teknologi Warsito menjadi telantar. Belum lagi, 150 pegawai Edwar Technology terancam di-PHK.
Hal serupa terjadi pada Kusrin, warga Karanganyar, Jawa Tengah, tamatan sekolah dasar (SD) yang menemukan dan memproduksi teknologi pembuatan TV berbasis industri rumahan. Pada 11 Januari 2016 ratusan televisi yang diproduksinya dimusnahkan Kejaksaan Negeri Karanganyar. Industri kecil dan menengah (IKM) miliknya, yakni UD Haris Elektronika belum mengantongi sertifikat SNI dan pendaftaran produk.
Kusrin merakit televisi sendiri menggunakan monitor bekas komputer. Namun, dia menggunakan komponen dan casing untuk televisi rakitannya dalam kondisi baru.
Alih-alih mendapatkan penghargaan atas kreativitas dan inovasinya, Kusrin divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun serta hukuman denda Rp 2,5 juta. Terhukum dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar Pasal 120 ayat 1 UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Alasan pemerintah menghentikan operasional 'klinik' Warsito dengan melarangnya menerima 'pasien' baru dapat dipahami. Masyarakat dan konsumen memang perlu perlindungan dan kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan.
Namun, bisa jadi 'klinik' Warsito telah melakukan lompatan prosedur riset dan melanggar aturan tentang pelayanan kesehatan, klinik, dan alat kesehatan, tapi juga alat ini telah menolong banyak penderita kanker.
Pilihan metode penyembuhan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Pasal 5 ayat (3) UU Kesehatan No 36/2009 menyebutkan, "Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya." Kemudian, Pasal 9 ayat (1) UU HAM No 39/ 1999 menyebutkan, "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya."
Langkah terbaik untuknya, pemerintah melakukan pembinaan dan fasilitasi daripada mengkriminalisasi. Bagaimanapun, ia telah melakukan inovasi luar biasa. Telah memberi lapangan pekerjaan yang halal bagi banyak orang dan turut menggairahkan perekonomian rakyat. Sejauh mana telah dilakukan pembinaan terhadap pengusaha kecil seperti Kusrin?
Kepastian dan perlindungan hukum memang sangat penting dan menjadi bagian dari karakteristik negara hukum yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap para inovator semacam Warsito dan Kusrin harus dilakukan oleh otoritas negara. Namun, karakter produk hukum juga harus bersifat responsif dan akomodatif terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan. Proses normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat. (Arianto, 2010).
Sebaliknya, produk hukum konservatif atau ortodoks adalah karakter produk hukum yang mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat dominan, sehingga dalam proses pembuatannya tidak akomodatif. Prosedur pembuatan hanya bersifat formalitas. Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan dengan sifat positivis instrumentalis atau sekadar alat justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. (Nonet, 2001 dalam Arianto, 2010).
Philippe Nonet and Philip Selznick menjabarkan perlunya hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick berargumen, hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan bukan oleh pejabat, melainkan oleh rakyat.
Sifat responsif mengandung arti komitmen kepada "hukum di dalam perspektif konsumen". Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. (Arianto, 2010).
Warsito dan Kusrin dan para inovator lainnya adalah kebanggaan Indonesia yang patut mendapat fasilitasi dan pembinaan negara. Apabila mereka kesulitan mengembangkan inovasinya, negara perlu memfasilitasi entah dengan bantuan sarana, prasarana, hingga dana.
Tugas pemerintah adalah mengingatkan mereka ihwal prosedur yang harus dijalani, standardisasi, sertifikasi, dan rule of engagement yang berlaku. Mereka harus dibina, bukan dibinasakan.
Kemudian, produk hukum yang hadir terkait inovasi perlu lebih responsif dan akomodatif terhadap kenyataan sosial di masyarakat. Dapat menjaga harmoni antara kepastian hukum dan perlindungan hukum dengan kebutuhan masyarakat.
Di sisi lain, para inovator juga harus sadar hukum positif yang berlaku, misalnya, tidak mudah melakukan pemalsuan, pelanggaran HAKI, dan menghormati rambu-rambu sosial, etika, dan moral terkait inovasinya. n
Heru Susetyo
Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alumnus Program Doktor Human Rights and Peace Studies Mahidol University Thailand.
republika
Bahwasanya teknologi dan inovasi sering tidak sejalan dengan hukum dan kebijakan. Sementara, teknologi, inovasi, dan ekonomi begitu deras melaju, hukum dan perundang-undangan sering kali terengah-engah mengejar ketertinggalan.
Sayangnya juga, tidak semua hukum dan kebijakan bersifat responsif dan akomodatif. Alih-alih mengakomodasi perkembangan teknologi, acap kali hukum malah bersifat terlalu rigid, kaku, dan positivis, dengan mengatasnamakan kepastian hukum dan formalitas peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Contoh aktual dari disharmoni antara teknologi, inovasi, ekonomi, dan hukum adalah fenomena jaket kanker Doktor Warsito, produksi TV mandiri Kusrin, dan ojek online semacam Gojek dan Grabbike yang kehadirannya mengundang kontroversi dan kemudian berkonflik dengan hukum dan kebijakan di Indonesia.
Warsito Purwo Taruno, fisikawan Indonesia alumnus Jepang adalah penerima penghargaan BJ Habibie Technology Award (BJHTA) kedelapan. Penghargaan diberikan karena temuan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT), pendeteksi kanker otak dan payudara (Republika, 1/12/2015). Salah satu turunan teknologi ECVT adalah aplikasi untuk terapi kanker, yaitu Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Aplikasi ini telah didaftarkan paten Indonesia pada 2012.
CVT dan ECCT adalah harapan besar untuk terapi kanker berbasis gelombang energi nonradiasi. Kedua teknologi ini tidak ada referensinya di dunia luar. Ini karena keduanya lahir di Indonesia dan pertama di dunia.
Sejak keberhasilan jaket kankernya pada beberapa pasien dan profilnya diangkat ke media nasional, pasien pun berbondong. Sebanyak 70-80 pasien per hari mendatangi tempat penelitian Dr Warsito di daerah Tangerang.
Menurut Kemenkes, klinik itu belum sesuai standar dan izin operasional yang berlaku. Akibatnya, operasional 'klinik' terancam terhenti dan ratusan penderita kanker calon pengguna teknologi Warsito menjadi telantar. Belum lagi, 150 pegawai Edwar Technology terancam di-PHK.
Hal serupa terjadi pada Kusrin, warga Karanganyar, Jawa Tengah, tamatan sekolah dasar (SD) yang menemukan dan memproduksi teknologi pembuatan TV berbasis industri rumahan. Pada 11 Januari 2016 ratusan televisi yang diproduksinya dimusnahkan Kejaksaan Negeri Karanganyar. Industri kecil dan menengah (IKM) miliknya, yakni UD Haris Elektronika belum mengantongi sertifikat SNI dan pendaftaran produk.
Kusrin merakit televisi sendiri menggunakan monitor bekas komputer. Namun, dia menggunakan komponen dan casing untuk televisi rakitannya dalam kondisi baru.
Alih-alih mendapatkan penghargaan atas kreativitas dan inovasinya, Kusrin divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Karanganyar hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun serta hukuman denda Rp 2,5 juta. Terhukum dinyatakan bersalah karena terbukti melanggar Pasal 120 ayat 1 UU No 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Alasan pemerintah menghentikan operasional 'klinik' Warsito dengan melarangnya menerima 'pasien' baru dapat dipahami. Masyarakat dan konsumen memang perlu perlindungan dan kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan.
Namun, bisa jadi 'klinik' Warsito telah melakukan lompatan prosedur riset dan melanggar aturan tentang pelayanan kesehatan, klinik, dan alat kesehatan, tapi juga alat ini telah menolong banyak penderita kanker.
Pilihan metode penyembuhan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). Pasal 5 ayat (3) UU Kesehatan No 36/2009 menyebutkan, "Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya." Kemudian, Pasal 9 ayat (1) UU HAM No 39/ 1999 menyebutkan, "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya."
Langkah terbaik untuknya, pemerintah melakukan pembinaan dan fasilitasi daripada mengkriminalisasi. Bagaimanapun, ia telah melakukan inovasi luar biasa. Telah memberi lapangan pekerjaan yang halal bagi banyak orang dan turut menggairahkan perekonomian rakyat. Sejauh mana telah dilakukan pembinaan terhadap pengusaha kecil seperti Kusrin?
Kepastian dan perlindungan hukum memang sangat penting dan menjadi bagian dari karakteristik negara hukum yang memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap para inovator semacam Warsito dan Kusrin harus dilakukan oleh otoritas negara. Namun, karakter produk hukum juga harus bersifat responsif dan akomodatif terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Produk hukum responsif atau otonom adalah karakter produk hukum yang mencerminkan pemenuhan atas aspirasi masyarakat, sehingga secara relatif lebih mampu mencerminkan rasa keadilan. Proses normatifikasinya mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat. (Arianto, 2010).
Sebaliknya, produk hukum konservatif atau ortodoks adalah karakter produk hukum yang mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan negara yang sangat dominan, sehingga dalam proses pembuatannya tidak akomodatif. Prosedur pembuatan hanya bersifat formalitas. Di dalam produk hukum yang demikian, biasanya hukum berjalan dengan sifat positivis instrumentalis atau sekadar alat justifikasi bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah. (Nonet, 2001 dalam Arianto, 2010).
Philippe Nonet and Philip Selznick menjabarkan perlunya hukum sebagai fasilitator dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick berargumen, hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan bukan oleh pejabat, melainkan oleh rakyat.
Sifat responsif mengandung arti komitmen kepada "hukum di dalam perspektif konsumen". Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. (Arianto, 2010).
Warsito dan Kusrin dan para inovator lainnya adalah kebanggaan Indonesia yang patut mendapat fasilitasi dan pembinaan negara. Apabila mereka kesulitan mengembangkan inovasinya, negara perlu memfasilitasi entah dengan bantuan sarana, prasarana, hingga dana.
Tugas pemerintah adalah mengingatkan mereka ihwal prosedur yang harus dijalani, standardisasi, sertifikasi, dan rule of engagement yang berlaku. Mereka harus dibina, bukan dibinasakan.
Kemudian, produk hukum yang hadir terkait inovasi perlu lebih responsif dan akomodatif terhadap kenyataan sosial di masyarakat. Dapat menjaga harmoni antara kepastian hukum dan perlindungan hukum dengan kebutuhan masyarakat.
Di sisi lain, para inovator juga harus sadar hukum positif yang berlaku, misalnya, tidak mudah melakukan pemalsuan, pelanggaran HAKI, dan menghormati rambu-rambu sosial, etika, dan moral terkait inovasinya. n
Heru Susetyo
Staf Pengajar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Alumnus Program Doktor Human Rights and Peace Studies Mahidol University Thailand.
republika
0 komentar:
Posting Komentar