Tolikara mengingatkan kita pada sebuah kampung di pojok Kota Bekasi bernama Ciketing Asem. Keduanya dilanda tragedi kekerasan pada waktu Idul Fitri. Namun, reaksi media terhadap kedua peristiwa itu bertolak belakang yang semakin menunjukkan betapa busuknya wajah sebagian besar media arus utama kita.
Lima tahun lalu, saat umat Islam merayakan Hari Kemenangan, kaum Muslim di Ciketing Asem justru bersimbah darah setelah aksi provokasi jemaat HKBP. Seketika itu juga dunia internasional menyoroti Ciketing Asem.
Berbagai media (cetak dan elektronik), baik dalam maupun luar negeri, kompak mengangkat peristiwa itu dengan satu angel yang seragam: kebebasan beribadah.
Judul kemudian dibuat beragam. Beberapa di antaranya: Pemkot Bekasi Diminta Berikan Izin Ibadah untuk jemaat HKBP (detik), Romo Benny: Negara Tidak Boleh Kalah oleh Pelaku Kekerasan (detik), Indonesia, Belajarlah Toleransi (kompas), Kebebasan Beragama Belum Terjamin (kompas), Ada Pertemuan sebelum Penusukan (kompas), Kebebasan Beribadah Terancam (Media Indonesia), KWI: Gejala Intoleransi Terjadi (kompas), Sukur Nababan: Ini Tindakan Biadab, (kompas), Jemaat HKBP Ditusuk saat akan Beribadah (Koran Tempo), Christian Worshippers Attacked in Indonesia (New York Times/Associated Press).
Nada pemberitaan mereka seperti sudah diatur layaknya paduan suara yang menyanyikan lagu Kebebasan Beragama dengan syair yang menyudutkan umat Islam.
Padahal, fakta sesungguhnya tidaklah demikian. Tertusuknya jemaat HKBP akibat provokasi mereka yang berjalan kaki sejauh 2-3 Km untuk beribadah, dengan melewati rumah-rumah penduduk sambil bernyanyi kidung rohani.
Benturan tak terhindarkan. Tak cuma jemaat HKBP yang jadi korban, warga Ciketing Asem pun terluka. Insiden Cikeas terjadi karena bandelnya jemaat HKBP yang tidak mematuhi instruksi Pemkot Bekasi untuk tidak beribadah di Ciketing Asem. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka endapkan. Yang ditampilkan hanya akibat. Maka muncullah berita-berita yang memojokkan umat Islam.
Tahun ini, saat umat Islam memekikkan takbir kemenangan di Hari Idul Fitri, nun jauh di Tolikara Papua aksi kekerasan kembali terjadi. Kaum Muslim yang hendak sholat ied diserang jamaah teroris GIDI (Gereja Injil Di Indonesia). Tak cuma itu, mereka juga membakar tempat ibadah umat Islam di sana. Lalu bagaimana media arus utama memberitakannya?
Mari kita cermati pemberitaan Kompas online. Berikut beberapa judul mereka:
1. Situasi Karubaga Berangsur Kondusif, Polisi Selidiki Pemicu Kerusuhan
2. Pembakaran Rumah Ibadah Melanggar Norma Adat Papua.
3. MUI Minta Umat Islam di Tolikara Menahan Diri
4. Belasan Kios dan Rumah Warga Hangus Dibakar Massa Tak Dikenal.
Lain halnya dengan Metro TV Online. Awalnya mereka memberitakan peristiwa tersebut dengan judul: Saat Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musholla di Tolikara. Lalu judul diubah menjadi Amuk Massa di Tolikara.
Kita juga masih ingat dengan tragedi Monas 1 Juni 2008. Pola pemberitaan media memang cenderung homogen saat terjadi peristiwa semacam Monas dan Ciketing Asem, juga terorisme. Benang merahnya: mereka kompak memberitakan setiap kejadian yang berpotensi menyudutkan umat Islam; tentang keberagamaan (pluralitas), kebebasan, radikalisme, dsb.
Biasanya, mereka selalu menutupi akar masalah; kerap memblow up akibat, bukan sebab. Insiden Monas, misalnya, diberitakan sebagai aksi kekerasan umat Islam terhadap AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). Islam pun diopinikan sebagai antikebhinekaan, mengingat saat peristiwa terjadi bertepatan dengan Hari Pancasila. Padahal, bentrokan antara FPI dan AAKBB disebabkan oleh provokasi AKKBB. Tapi media tak mau tahu. Fakta itu mereka sisihkan, dan hanya memberitakan aksi kekerasan FPI.
Keesokan harinya, Koran Tempo menampilkan foto headline saat Munarman, tokoh FPI, sedang “mencekik” seorang laki-laki “yang ditulis mereka sebagai anggota AKKBB“, untuk memberikan efek dramatis aksi kekerasan FPI. Ternyata, fakta yang sesungguhnya tidak demikian. Munarman justru sedang berusaha mencegah anggota FPI melakukan serangan kepada anggota AKKBB.
Kita memang tak bisa menuntut banyak kepada mereka untuk bersikap adil terhadap umat Islam. Namun kita kerap dibuat geram oleh ulah mereka. Media arus utama kita semakin koruptif saat memberitakan isu keumatan. Dan semakin hari, wajah media semacam detik, kompas dan metro kian membusuk, menyebarkan bau tak sedap tentang Islam ke publik. Baunya bertambah menyengat di masa kini, saat negeri ini dipimpin oleh seorang presiden yang secara massif justru dicitrakan positif oleh media busuk semacam mereka.
Erwyn Kurniawan
0 komentar:
Posting Komentar