Oleh: Priyo Jatmiko
Pak (Alm.) Damardjati Supadjar, saat itu masih dekan fakultas filsafat UGM, dalam satu ceramah tarawih di masjid Al Hasanah (masjid di bilangan kampus UGM – seberang Mirota Kampus dan perpustakaan UGM- yang suka menu gado-gado; kadang menghadirkan filsuf macam Pak Damardjati Supajar, kadang menghadirkan ustadz semacam ustadz Ja’far Umar Thalib), pernah berkata begini:
“Kata-kata ‘Hamengku Buwono, Sulthan, dan Khalifatullah itu satu kesatuan. Orang yang mau hamengku buwono (“memangku” atau melindungi alam semesta) harus punya sulthan (kekuatan), tapi visinya harus khalifatullah (melaksanakan kehendak Tuhan), kalau tidak ia hanya akan menjadi manusia yang yufsiduna fil ardh(kerjaannya merusak alam semesta) dan yasfikud dima (hobi menumpahkan darah).”
Pak Damardjati ini dikenal sebagai penasehat Sri Sultan dan pernah dibawa Sri Sultan menjelaskan arti gelar panjangnya itu ke masyarakat adat Minangkabau. Maka, kira-kira bagaimana pendapat beliau jika masih hidup atas sabda Sri Sultan tersebut ya?
Yang jelas, sabda Sri Sultan adalah lambang kemenangan modernisasi (untuk tidak menyebutnya sebagai sekulerisasi) atas tradisi dan relijiusitas sekaligus. Bahwa ia adalah lambang, tanda, maka orang-orang membaca segala makna di belakangnya, jadi tidak cukup penjelasan literalistik seperti bahwa dulu Abu Bakar pun menolak gelar khalifatullah dan hanya menyebut dirinya khalifatur rasul (dengan mengambil konteks makna kha-la-fa sebagai pengganti di belakang, bukan wakil), sebab itu penjelasan ala puritanistik (yang ironisnya memang falsafahnya sejalan dengan modernistik), penjelasan yang lepas dari konteks tradisi (dan ideologi).
Bukankah kemenangan modernisasi atas tradisi Jogja sudah berlangsung lama, misalnya yang terlihat dari semakin banyaknya mall-mall terutama pasca Gempa Jogja 2006 yang tidak mencirikan kota yang berhati ramah? Pada akhirnya sabda sebagai lambang memang hanya penanda atas sesuatu yang bagi sebagian orang mungkin sudah lama berjalan. Mereka yang terlalu bersemangat mungkin mengatakan bahwa apalah maknanya gelar khalifatullah, ada atau tidaknya tidak berpengaruh, toh selama ini keberadaan pondok pesantren di Jogja tidak diperhatikan, agama hanya hadir sebagai simbol di acara-acara adat Sura (yang bagi banyak pihak juga tidak otentik islami), dan pernyataan-pernyataan orang terdekat Ngarso Dalem yang dirasa orang sebagai kurang ramah pada Islam.
Sebagai justifikasi atas sabdanya tersebut, Sri Sultan mengatakan bahwa itu adalah wahyu dari Tuhan. Masyarakat sekuler-modern di dunia ketiga, seperti kita ini memang begitu orangnya, mulai dari Arab Saudi dengan modernisasi Masjidil Haram sampai Mesir dengan diktatorisme militernya, baik pro atau kontra, Tuhan tidak pernah absen namanya. Dia hanya absen substansinya.
Apakah alam batin rakyat Jogja ikut goncang, sebab mereka selalu menerima satu versi solidarisme kebenaran, bahwa Jogja dan ke-Jogja-an adalah sesuatu yang istimewa untuk dibela, tapi kini sosok Sri Sultan sebagai lambang ke-Jogja-an, menghancurkan simbol ke-Jogja-an yang lain: keislaman yang berkelindan sejarah dengan keadatan. Hikmah dari alam batin yang goncang adalah: mungkin ini saatnya bagi orang Jogja, atau orang yang sok merasa Njogja padahal bukan kelahiran Jogja (seperti saya ini), berhenti berpikir bahwa dunianya adalah pusat dunia (Indonesia) yang penting.
Sebab nantinya mungkin berita kontroversi tentang sabda raja ini akan pudar dengan sendirinya, tidak beda dengan dunia dalam berita lainnya: entah itu dunianya Budi Waseso, Budi Gunawan, dan polisi-polisi berbudi lainnya, maupun dunianya artis yang jadi PSK dengan bayaran short time 80 juta, sampai dunianya sepakbola dimana PSSI asyik dengan dirinya sendiri versus Menpora yang tidak hidup di alam nyata. Dunia dalam berita, apalagi di Indonesia, mungkin adalah kefanaan yang paling fana, dari sekian banyak fananya dunia.
Jogja mungkin tiada beda.
0 komentar:
Posting Komentar