JELANG setahun umur pemerintahannya, desas-desus pergantian menteri di era Joko Widodo mulai tersiar luas. Lebih-lebih terkait ‘ancaman’ 20 Mei nanti, yang diluncurkan para aktivis muda, soal reshuffle menteri kian bikin panas dingin pendukung penguasa. Isu ini semata untuk puaskan para pengecam Presiden? Mungkin saja. Isu ini untuk akomodasi sebagian kalangan yang selama ini berseberangan tapi belakangan memperlihatkan sikap lunak? Mungkin juga.
Ada atau tidaknya aksi besar-besaran 20 Mei, atau merapatnya secara malu-malu PAN ke pemerintahan, reshuffle sejatinya keniscayaan bila melihat latar pemilihan para pembantu Presiden. Orang-orang titipan partai pendukung dengan kinerja jauh dari memuaskan sudah semestinya diganti. Bahkan, ada yang lebih mendasar lagi, yakni kesempatan Presiden untuk memperlihatkan kepemimpinan sebenarnya. Jangan sampai, sebagai orang nomor wahid di pemerintahan, dia malah didikte oleh orang di sekelilingnya. Ketua umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, adalah orang yang niscaya dihapuskan hegemoni di pikiran Presiden.
Presiden perlu menjadikan momentum reshuffle sebagai percepatan kemampuan dirinya yang otentik. Bukan hasil karbitan seperti selama ini. Tidak boleh lagi ada keluh kesah dan canda ria tidak bermutu. Sebab, kekuasaan kadung sudah dipegangnya. Barisan para pemujanya juga masih setia mendampingi, kendati tidak seagresif sebelum Presiden naik tahta. Kalangan yang tidak memilihnya juga bisa bersimpati apabila Presiden memperlihatkan kenegarawan yang bebas dari opini media.
Presiden tidak boleh lagi terbuai dalam mimpi-mimpi mesin pencitraan, yang hari ini bisa jadi tinggal ilusi tak bermakna. Kelemahan diri dari tekanan, yang kemudian diantisipasi dengan sikap pasrah diri bahkan tidak percaya diri, tidak boleh berulang lagi. Jejaknya hari esok adalah penapakan diri; bukan kerja dari orang lain yang hanya memainkan opini busuk menjadi seolah berkualitas.
Tantangan bagi Presiden bukan soal reshuffle-nya, melainkan keberanian selaku lelaki penguasa. Mengganti menteri dari partai atau profesional hanya ujian awal dan bukan terbesar. Bila ini berhasil dilalui, ada harapan untuk perlahan menjadi sosok sebenarnya, alih-alih sekadar petugas partai. Bayang-bayang bagi Presiden Jokowi adalah ketakutan dirinya sendiri. Mungkin karena selama ini dia adalah bayangan orang lain. Mungkin karena selama ini ia sadar siapa dirinya. Mungkin karena selama ini dia paham kapasitasnya. Dan ketika ujian demi ujian tiba untuk direspons cepat dan baik, dia tidak boleh lagi hanya pasrah atau mengalihkan ke orang lain (baca: anak buah).
Bagi publik, karena kebiasaan sang Presiden untuk melepaskan tanggung jawab belum tentu dipenuhi, baiknya memang tidak perlu berharap jauh. Biarkan Presiden jalankan kemauannya; kemauan yang mestinya untuk kepentingan rakyat secara umum. Bukan kemauan yang cerminkan para dalang di sekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar