Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan mendapat respons positif dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Bahkan Fahri menyebut, keputusan MK itu merupakan kemenangan hak asasi manusia di Indonesia.
"Ini adalah kemenangan HAM di Indonesia. Maka jika ada yang anggap negara kita melanggar HAM, sekiranya mereka perlu diberitahu," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Rabu 29 April 2015.
Fahri menilai, putusan itu perlu untuk dirayakan. Bagi Wasekjen DPP PKS ini, semua rakyat dan penggiat hukum, harus menyadari bahwa putusan MK itu adalah keputusan penting bagi rakyat.
"Keputusan MK ini monumental," katanya.
Menurut dia, putusan ini menandakan bahwa hukum di Indonesia sudah maju. Karena, demokrasi hukum atas keputusan MK ini memberi perlindungan kepada rakyat sejak dini. "Kini tak ada keraguan lagi bahwa semua tindakan aparat dalam penyidikan dapat dilawan," kata Fahri.
Dengan keputusan ini, maka tidak bisa lagi penegak hukum asal memberlakukan status tersangka kepada sesorang. Walau, tanpa adanya bukti kuat sehingga prosesnya menjadi lama.
"Hargai rakyat dengan penyidikan yang canggih. Jika tidak, negara dapat dikalahkan," tegasnya.
Status tersangka jadi objek praperadilan, bermula ketika MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Dia mengajukan judicial riview terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Pasal-pasal yang dimohonkan Bachiar adalah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Alasannya, dianggap mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.
MK mengubah Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Ada tambahan dari MK, yaitu penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.
"Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata Hakim Konsitusi Anwar Usman.
MK juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Penambahan itu, karena sebelumnya tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.
Viva
"Ini adalah kemenangan HAM di Indonesia. Maka jika ada yang anggap negara kita melanggar HAM, sekiranya mereka perlu diberitahu," kata Fahri dalam keterangan tertulisnya, Rabu 29 April 2015.
Fahri menilai, putusan itu perlu untuk dirayakan. Bagi Wasekjen DPP PKS ini, semua rakyat dan penggiat hukum, harus menyadari bahwa putusan MK itu adalah keputusan penting bagi rakyat.
"Keputusan MK ini monumental," katanya.
Menurut dia, putusan ini menandakan bahwa hukum di Indonesia sudah maju. Karena, demokrasi hukum atas keputusan MK ini memberi perlindungan kepada rakyat sejak dini. "Kini tak ada keraguan lagi bahwa semua tindakan aparat dalam penyidikan dapat dilawan," kata Fahri.
Dengan keputusan ini, maka tidak bisa lagi penegak hukum asal memberlakukan status tersangka kepada sesorang. Walau, tanpa adanya bukti kuat sehingga prosesnya menjadi lama.
"Hargai rakyat dengan penyidikan yang canggih. Jika tidak, negara dapat dikalahkan," tegasnya.
Status tersangka jadi objek praperadilan, bermula ketika MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron Bachtiar Abdul Fatah. Dia mengajukan judicial riview terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP).
Pasal-pasal yang dimohonkan Bachiar adalah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 77 KUHAP inkonstitusional terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945. Alasannya, dianggap mengabaikan prinsip hak atas kepastian hukum yang adil.
MK mengubah Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Ada tambahan dari MK, yaitu penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.
"Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia," kata Hakim Konsitusi Anwar Usman.
MK juga mengubah Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) dengan menambahkan frasa 'minimal dua alat bukti' dalam proses penetapan dan penyidikan seseorang sampai menjadi tersangka. Penambahan itu, karena sebelumnya tidak dijelaskan jumlah bukti permulaan.
Viva
0 komentar:
Posting Komentar