SELAMA dalam sidang kedewanan, anggota DPR ngomong apa saja tidak dimasalahkan, karena punya hak imunitas. Tapi begitu omongan kasar itu muncul di medsos, bisa jadi masalah. Beberapa hari lalu Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah digugat kelompok buruh migran ke MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), karena politisi PKS itu dinilai telah melecehkan profesi mereka sebagai pahlawan devisa.
Di Twitter Fahri Hamzah hanya berkicau: “Anak bangsa mengemis menjadi babu di negeri orang dan pekerja asing merajalela”. Kelompok migrant Lingkaran Aku Cinta Indonesia (LACI), merasa terhina oleh ucapan Fahri Hamzah. Ketimbang tambah rame dan menimbulkan kontroversi, vokalis DPR itu memilih minta maaf dan menghapus cuitannya, karena sebetulnya dia tidak bermaksud menghinakan tapi justru membelanya.
Dalam bahasa sastra, ada istilah gaya hiperbola, yakni kata atau kalimat yang dilebih-lebihkan, bukan arti yang sesungguhnya. Jika Fahri Hamzah menyebut kata “babu” bukanlah dalam pengertian musti pembantu rumahtangga yang ngepel lantai, mencuci dan menceboki anak majikan itu.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), entri babu mengandung makna: perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang; pembantu rumah tangga. Maka sebagaimana kata anggota DPR Rieke Dyah Pitaloka, para buruh migrant di Hongkong membela diri, karena sistem hukum di negeri itu memang cukup melindungi keberadaan TKI, sehingga di sana mereka tak merasa sebagai pembantu rumahtangga. Tapi bandingkan dengan yang ditempatkan di Timur Tengah, mereka banyak yang tersia-sia nasibya.
Sejak Orde Baru pemerintah memang gemar meningkatkan derajat anak bangsa lewat kata-kata. Misalnya, germo diganti mucikari, pelacur menjadi WTS (wanita tuna susila) dan diamandemen lagi sebagai Pekerja Seks Komersil (PSK). Lalu guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, babu jadi Pekerja Rumah Tangga, dan ketika dikirim keluar negeri dijuluki pahlawan devisa.
Karena banyak menghasilkan devisa hingga triliunan, pemerintah sayang menghentikan TKI/TKW, meski yang ditempatkan di negeri Timur Tengah, banyak dinistakan. Banyak Tenaga Kerja Indonesia yang justru jadi korban “tenaga kuda” para majikannya. Belum lagi yang pulang ke Indonesia bukan lagi sebagai manusia seutuhnya, tanpa kepala gara-gara dipancung.
judul asli : Bedanya Ngomong di Medsos dan di Sidang Kedewanan
0 komentar:
Posting Komentar