Dulu ada tokoh nasional, yang sekarang sudah wafat, mengatakan bahwa: “Tuhan tak perlu dibela”. Tokoh ini sangat dikagumi dan dipuja oleh anak-anak muda saat itu, dan tampaknya juga sampai sekarang. Anak-anak pesantren, jika belum mengidolakan dia, masih dianggap kuno, belum moderen, masih level syariat, masih fokus urusan dzahir, belum level hahikat (haqiqoh), dan lain sebagainya.
Saat ini, saat umat Islam melakukan pembelaan terhadap tuhannya, agamanya dan kitab sucinya, lagi-lagi banyak orang yang berkata bahwa: “Tuhan tak perlu dibela”. Saya tidak tahu, apakah pernyataan yang sekarang terinspirasi oleh tokoh yang sudah meninggal itu atau benar-benar pendapatnya sendiri?.
Sumber Gatra |
Salah seorang profesor di UI, misalnya mengatakan: Demonstrasi dalam rangka membela Tuhan makin banyak. Hal ini membuat saya bertanya, "Mungkinkah membela agama?". Pertanyaan selanjutnya, "Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?"
Selanjutnya, dia mengatakan: "Pandangan saya mungkin tidak begitu populer, tetapi untuk saya, Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Anak-anak, perempuan, orang yang lemah dan tak berdaya, orang fakir dan yatim piatulah yang patut dibela, dan hal itulah yang sesuai dengan ajaran Islam"
Tulisan singkat ini hendak membahas pernyataan di atas dan menunjukkan betapa absurd-nya pernyataan tersebut.
****
Pernyataan tersebut tampak diucapkan oleh orang “pinter”, tetapi kenyataannya lebih tepat diucapkan oleh orang yang “keminter”. Itu sama dengan orang yang menertawakan sebuah pernyataan bahwa “kalau ingin pintar harus ke sekolah”. Dia mengejek orang sekolah dan mengatakan: “Yang membuat pintar itu belajar, bukan sekolah. Seratus tahun kamu pergi sekolah, kalau hanya pergi saja, dijamin tidak akan pintar”.
Pernyataan “kalau ingin pintar harus sekolah” itu tentu ada maksudnya. Sama dengan pernyataan “membela Allah, agama dan kitab suci”, semua itu ada maksudnya. Tidak bisa dipahami seperti anak SD saat memahami suatu bahasa.
Terkadang orang-orang memang lucu dalam memahami bahasa. Ini bukan hanya sekarang. Tetapi juga pada zaman Nabi Muhammad dulu. Sebelum kita membahas tentang “menolong Allah”, akan kita ulas dahulu sebuah kisah yang menggambarkan bahwa orang gagal paham dalam memahami bahasa itu memang benar-benar terjadi, termasuk pada zaman Rasulullah dahulu.
Ibnu Abu Hatim menyatakan bahwa sebab turunnya Ali Imran ayat 181, berdasarkan hadis Ibnu Abbas, adalah karena perkataan orang-orang Yahudi kepada Nabi saw. sewaktu Allah menurunkan ayat;
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah. Pinjaman yang baik, maka Allah akan memperlipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat-ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (Al-Baqarah 245)
Orang-orang Yahudi berkata kepada Nabi Muhammad saw, "Hai Muhammad! Rupanya Tuhanmu jatuh miskin, sehingga ia meminta pinjaman kepada hamba-Nya!"
Maka Allah pun menurunkan ayat, "Sungguh Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan 'Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya.'" (Ali Imran 181)
Menurut pendapat yang lain bahwa Ibnu Ishak dan Ibnu Abu Hatim mengatakan bahawa sebab turun surat Ali Imran ayat 181 ialah hadis dari Ibnu Abbas katanya, "Abu Bakar masuk ke rumah seseorang bernama Madras. Didapatinya di sana telah berkumpul orang-orang Yahudi sedang menghadap pemimpin mereka bernama Fanhas. Kata Fanhas kepada Abu Bakar, 'Demi Allah, wahai Abu Bakar! Sebenarnya kami ini tidak perlu Allah, sebaliknya Dialah yang perlukan kami! SEANDAINYA DIA KAYA, TENTULAH DIA TIDAK PERLU MEMINTA PINJAMAN DARI KAMI kami sebagaimana dikatakan oleh sahabatmu itu!' Abu Bakar pun marah lalu menampar mukanya.
Lalu Fanhas ini pergi menemui Nabi saw. katanya, 'Hai Muhammad! Lihatlah ini apa yang telah dilakukan oleh sahabatmu kepada saya!' Jawab Nabi saw., 'Hai Abu Bakar, apa yang menyebabkanmu melakukan itu?' Jawabnya, 'Wahai Rasulullah! Ia telah mengeluarkan kata-kata berat, dikatakannya bahwa Allah miskin sedangkan mereka kaya.' Fanhash menolak keterangan itu, tetapi Allah menurunkan ayat, 'Sungguh Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya...'" (Al-Imran 181)
Jadi, orang-orang Yahudi itu gagal paham terhadap al-qur’an yang mengatakan “memberi pinjaman kepada Allah”. Dikiranya Allah minta pinjaman atau hutangan, padahal maksudnya adalah Allah mendorong umat Islam untuk berinfaq dalam segala jenis kebaikan (diantaranya mendakwahkan Islam, jihad, membantu orang miskin dan lain sebagainya). Segala infaq yang dikeluarkan karena Allah (maksudnya dengan Ikhlas karena mengharap ridlo Allah), manfaatnya sama sekali bukan untuk Allah, tetapi manfaatnya itu kembali kepada manusia sendiri.
Allah sama sekali tidak butuh bantuan manusia, apalagi infaq dan sedekah manusia. Semua sedekah dan infaq itu akan kembali kebaikannya kepada manusia itu sendiri.
Jadi, contoh orang yang gagal paham pada zaman Nabi adalah orang-orang Yahudi.
Apakah mereka benar-benar gagal paham? Sebetulnya tidak. Mereka sebenarnya tahu maksud ayat tadi, tetapi mereka berkata seperti itu hanya ingin menertawakan umat Islam dan menghina Rasulullah saw. Bagi sebagian orang, melecehkan umat Islam, itu merupakan “KENIMATAN TERTINGGI”. Naudzu billah!. Tampaknya, orang seperti itu, jumlahnya sangat banyak pada zaman sekarang ini.
****
Sekarang, kita kembali kepada kalimat: “menolong Allah” atau “menolong agama-Nya”.
Benarkah ini kata-kata orang bodoh yang belum pernah “makan” sekolahan? Atau justru kalimat yang ada di dalam al-Quran? Tentu, jika ada di dalam al-qur’an ada maksud tertentu dari kalimat itu.
Jika kita mengkaji al-qur’an dengan seksama, maka kita akan dapati bahwa di dalam al-qur’an sendiri ada banyak ayat yang memerintahkan umat Islam untuk “menolong Allah”.
Misalnya:
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS. Al Hajj 40)
وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
Artinya: “Dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan rasul-rasul-Nya. Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hadid 25)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad 7)
Jadi, kalimat tersebut memang terdapat di dalam al-qur’an. Bukan sekedar perkataan “teroris” atau orang “udik” yang tak pernah “makan” sekolahan.
Namun, untuk memahami ayat-ayat ini memang kita harus merujuk kepada para ulama ahli tafsir. Ulama yang benar-benar mengkaji al-qur’an. Bukan kepada sekedar profesor psikologi, profesor ekonomi, profesor sejarah dll, apalagi kepada politisi hitam yang tak percaya kepada Allah swt.
Terkait QS Al-hajj ayat 40, Imam Ath-Thabari mengatakan bahwa makna dari “Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong-Nya.” Yaitu Allah swt pasti meonolong orang-orang yang berperang di jalan-Nya agar kalimat-Nya tinggi terhadap musuh-musuh-Nya. Maka makna pertolongan Allah kepada hamba-Nya adalah bantuan-Nya kepadanya, sedangkan makna pertolongan hamba-Nya kepada Allah adalah JIHAD-NYA ORANG ITU DI JALANNYA untuk meninggikan kalimat-Nya.” (Tafsir At-Thabari juz XVII hal 651)
Sedangkan Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa maknanya adalah orang yang menolong agama dan nabi-Nya. (al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz XII hal 386)
Sedangkan tentang QS Al-Hadid ayat 25, Sayyid Qutb mengatakan bahwa “dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya.” Adalah isyarat untuk berjihad dengan menggunakan senjata. Permasalahan ini diletakkan dalam ayat yang berbicara tentang pengorbanan jiwa dan harta.
Tatkala berbicara tentang “Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” Kemudian Allah melanjutkannya dengan menjelaskan makna pertolongan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menolong manhaj dan da’wah-Nya. Adapun Allah swt tidaklah membutuhkan pertolongan dari mereka.
“Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” (Fii Zhilalil Qur’an juz VI hal 4395)
Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna “dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong-Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya.” Orang yang menolong Allah swt dan Rasul-Nya dengan memiliki keinginannya membawa senjata. “Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.” adalah Dia swt menolong orang yang menolong-Nya yang sebetulnya Dia swt tidak membutuhkan pertolongan dari manusia. Adapun disyariatkannya jihad adalah untuk menguji sebagian kalian dari sebagian yang lain.” (Tafsir Ibnu Katsir juz VIII hal 28)
Jadi, secara sederhana, menolong Allah maksudnya adalah menolong agama-Nya. Maksudnya adalah bahwa kita diperintah Allah untuk memperjuangkan Islam dan segala ajarannya. Jika ajaran Islam itu tegak, maka di dunia manusia akan mendapat segala kebaikan dan keadilan, sementara di akhirat nanti akan mendapat surga-Nya.
****
Allah Maha Segala-galanya, sama sekali tidak butuh pertolongan manusia. Ketika Allah berkata “menolong Allah”, maksudnya adalah perintah Allah agar kita melakukan semua kebaikan yang telah Allah perintahkan. Termasuk di dalamnya: mendakwahkan Islam, menolak demokrasi, menolak pemimpin kafir, menyantuni orang fakir miskin, menyantuni janda, menyantuni yatim-piatu, dan lain sebagainya.
Jadi, pernyataan Sarlito dan tokoh-tokoh lain, bahwa yang perlu dibela adalah orang-orang fakir, orang-orang lemah, dll, bukan Allah, adalah perkataan orang “samin”.
Jika ada yang menolong orang-orang lemah, orang-orang fakir karena Allah, maka itu termasuk dalam kategori “menolong Allah”. Jika ada orang berjuang agar orang kafir tidak jadi pemimpin, juga dalam kategori “menolong Allah”. Jika ada yang menghina al-qur’an, kemudian kita berjuang ahar mereka dihukum, juga dalam kategori “menolong Allah”. Jadi tak perlu dipertentangkan.
Sekarang kita coba uji, apakah orang-orang yang suka berkata nyinyir itu peduli kepada orang-orang lemah? Apakah mereka membela saat orang-orang miskin digusur dan diobrak-abrik Ahok? Apakah mereka peduli dengan para nelayan yang diputus mata pencariannya oleh Ahok? Apakah mereka mengkritisi sistem kapitalisme telah meyengsarakan oramg-orang lemah? Apakah mereka peduli dengan kekayaan alam yang dijarah oleh para kapitalis hitam?
Tidak saudara! Tidak! Orang-orang seperti itu justru mendukung pemusnahan orang-orang miskin dan lemah. Mereka justru menjadi broker saat keayaan rakyat dijarah dengan membabi buta.
Maka, jika sekarang mereka sok jadi jagoan dengan mengatakan yang perlu dibela adalah orang-orang lemah, bukan Allah, bukankah itu adalah pahlawan kesiangan?
Sebenarnya mereka hanya membela Ahok dan para konglomerat di belakangnya, yang saat ini sedang ketar-ketir di ujung tanduk, lalu mereka dengan berlagak lugu mengatakan: “Tuhan tak perlu dibela!!!”.
Wallahu a’lam.
Fukuoka, 15 Nov 2016
Oleh : Choirul Anam (Dosen UNDIP, Studi di Jepang) Dakwahmedia
0 komentar:
Posting Komentar