Oleh: Ma’mun Affany, Penulis Novel 29 Juz Harga Wanita, Penulis Bina Qalam Indonesia, @affany1986
THOMAS Aquinas mengibaratkan pelacuran sebagai sebuah “selokan” dalam istana. Sebagus-bagusnya istana tanpa selokan untuk membuang kotoran, kemegahan tersebut akan hilang. Hal ini kemudian menjadi sumber dalih untuk mempertahankan lahan pelacuran. Seolah dari penyataan ini lahan tersebut harus ada bagaimanapun caranya.
Berabad-abad lalu pelacuran di muka bumi ini memang sudah dikenal. Meretrice yang hina dipaksa memakai wig dalam masyarakat bawah Romawi adalah contoh dari eksistensi pekerja seks komersial (PSK) sejak dahulu kala. Selain itu ada gadis-gadis candi (temple maidens) yang memberikan kegadisannya dalam upacara masyarakat purba juga menjadi salah satu bukti adanya pelacuran di zaman itu. (Mudji Sutrisno dkk: 2005)
Pelacuran sendiri lebih sering disebut dengan prostitusi yang berakar dari bahasa Latin pro-stituere atau pro-stauree. Artinya membiarkan diri berbuat zina. Dalam Kamus Bahasa Indonesia prostitusi dimaknai dengan pertukaran hubungan sosial dengan uang. Jangan heran jika uang memang menjadi alasan paling mendasar dalam dunia esek-esek tersebut.
Di zaman serba digital, jalan pelacuran lebih canggih, cukup melalui layar-layar handphone, pelakunya tidak hanya pelacur yang sudah mapan, remaja usia belasan mencicipi, atau anak-anak SMA yang seharusnya sedang belajar manis di sekolah juga ngikut. Mereka nyemplung, lagi-lagi bermotif uang. Bahkan artis yang sudah bergelimang harta.
Rasanya tidak ada yang menafikan bahwa kehidupan artis tidak kekurangan meskipun mungkin juga tidak berlebihan. Namun demikian ingin hidup mewah adalah persoalan tuntutan gengsi yang sebenarnya tidak semua orang bisa mengikuti. Hedonisme sudah menjadi ideologi baru hingga uang saja tidak cukup, namun harus mewah.
Senada dengan ini Khofifah menyatakan, “Saya melihat prostitusi online banyak terjadi karena lifestyle (gaya hidup)” (sindonews.com). Mereka rela untuk mengorbankan apapun demi gengsi dan jatidiri daripada dihina teman tidak kece, tidak wow karena tidak beraksesoris mahal.
Ternyata motif ekonomi tidak selamanya hadir karena kepepet, tapi juga dengan alasan mengikuti trend. Tuntutan gaya hidup artis tinggi, rutin ke salon, mobil mewah, jalan-jalan ke luar negeri, alih-alih ngempet untuk membeli, bekerja keras, justru melacur jadi jalur alternatif. Sebuah ironi, gaya yang tak seberapa berharga, harus ditebus dengan menjual diri.
Pertimbangan ini seharusnya juga digunakan sebagai alasan untuk tidak melegalkan prostitusi dimanapun dengan cara apapun. Pemasukan pajak dari bisnis ini tidak seharusnya ditukar dengan rusaknya moral remaja melewati pelegalan pelacuran. Sangat naif jika jadi pertimbangan sebuah bangsa yang berlandaskan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Prostitusi jangan dilihat sebatas sebagai tempat buang hajat layaknya Thomas Aquinas, jangan. Apalagi sudah dianggap lumrah. Lokalisasi harus dilihat sebagai virus yang akan menjalar dan membawa wabah bagi orang yang datang, orang yang sudah pulang atau orang-orang yang ada di sekitarnya. Dalam virus ini tidak hanya terkandung candu pemuasan seksual terlarang, tapi juga minuman keras, dan obat-obatan haram.
Dalam falsafah jawa kandungan virus tersebut adalah tiga di antara lima perusak utama moral yang dikenal dengan istilah mo-limo (ma-lima). Madat artinya pecandu narkoba, madon artinya suka main perempuan, minum yang artinya suka dengan minum-minuman keras. Jika virus ini menyebar, sudah dapat dipastikan moral dari sebuah peradaban hancur berserakan.
Lokalisasi Dolly di Surabaya telah menumbuhkan anak berusia 8 tahun yang sudah ketagihan asusila karena hampir setiap hari melihat adegan seksual, juga melahirkan anak berusia 14 tahun yang dipaksa germo menjadi penjaja cinta dan narkoba karena diancam agar ibunya tidak ditendang dari wisma (tempo.co). Bu Risma sebagai walikota menyadari kebobrokan ini, kini Dolly hanya menjadi kenangan sejarah kelam kota pahlawan.
Rasanya tidak ada yang menghendaki bagian terkecil dari keluarga untuk berzina, sehingga Rasulullah SAW. menyadarkan seorang pemuda yang meminta izin untuk berzina dengan balik bertanya, “Apakah engkau suka ibumu berzina?” dalam kasus ini bisa diilustrasikan dengan pertanyaan, “Apakah kamu rela jika ibumu jadi pelacur?” hati nurani kita pasti menjawab tidak.
0 komentar:
Posting Komentar